Tangerang Kota, Hiwata- Bencana merupakan suatu kejadian yang bisa datang secara tiba-tiba, kapanpun, dimanapun, dan dapat menimpa siapapun. Bencana di era modern seperti sekarang ini dapat diantisipasi dengan cara diketahui secara dini melalui tindakan prediksi ataupun mitigasi.
Kemajuan tersebut tidak terlepas dari bagaimana pihak yang terlibat seperti relawan dapat lebih siaga dalam memprediksi maupun memitigasi bencana dengan meningkatkan kemampuan serta kapasitasnya didalam proses pembelajaran seperti kegiatan pelatihan.
Salahsatu antisipasi dan mitigasi yang dilakukan adalah untuk menyelesaikan kasus henti jantung di situasi bencana.
Kasus Henti Jantung Dalam Situasi Bencana
Kasus henti jantung (cardiac arrest) adalah kondisi medis darurat di mana jantung tiba-tiba berhenti berdetak secara efektif, sehingga aliran darah ke otak dan organ vital lainnya terhenti.
Jika tidak segera ditangani, kondisi ini dapat menyebabkan kematian dalam hitungan menit. Henti jantung dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, termasuk di lokasi bencana.
Penyebab henti jantung di situasi bencana yang paling sering ditemukan diantaranya seperti :
Pertama, trauma berat yang diakibatkan oleh kejadian cedera kepala, cedera dada, dan perdarahan yang masif.
Kedua, asfiksia yaitu kekurangan oksigen pada seseorang, yang diakibatkan oleh tertimpa reruntuhan, tenggelam, atau menghirup asap kebakaran terlalu banyak.
Ketiga, hipotermia (keadaan suhu rendah pada tubuh) atau hipertermia (keadaan suhu tinggi pada tubuh) yang diakibatkan terpapar suhu ekstrem terlalu lama.
Keempat, syok dan dehidrasi ekstrem yang diakibatkan oleh kehilangan cairan, atau terjadi luka bakar, atau infeksi sistemik atau infeksi parah yang terjadi pada korban.
Kelima, gagal jantung yang diakibatkan oleh stres berlebih atau adanya riwayat penyakit jantung pada korban di situasi bencana.
Keenam, keterlambatan penanganan medis, akibat akses yang terbatas atau sistem kesehatan yang lumpuh di situasi bencana.
Namun, ada suatu penelitian menunjukkan bahwa sekitar 35.000 hingga 50.000 kematian terjadi akibat kecelakaan dan bencana alam yang disebabkan oleh henti napas dan henti jantung.
Beberapa kasus henti napas di situasi bencana dapat menjadi rujukan seperti pada tsunami Aceh tahun 2004 dimana banyak korban mengalami asfiksia dan hipotermia parah pada saat itu.
Bencana gempa Yogyakarta pada tahun 2006 juga banyak korban dengan trauma berat yang tidak sempat tertangani cepat, termasuk kasus henti jantung karena tertimpa bangunan.
Bencana yang terbaru pada tahun 2018 seperti gempa dan tsunami Palu dan bencana gempa dan tsunami Banten dan Lampung juga menjadi catatan bahwa kejadian henti jantung di lokasi bencana perlu mendapatkan penanganan serius.
Pelatihan BHD Salah Satu Solusi Penanganan Henti Jantung
Keadaan henti jantung yang terjadi pada seseorang, perlu mendapatkan penanganan segera dalam situasi apapun tanpa mengacuhkan keamanan penolong atau korban saat melakukan tindakan. Salah satu cara yang efektif dan dapat dilakukan oleh orang awam sebelum tenaga medis tiba adalah melalui Bantuan Hidup Dasar (BHD).
BHD merupakan serangkaian tindakan pertolongan pertama yang bertujuan untuk menjaga aliran oksigen ke otak dan organ vital lainnya selama menunggu bantuan medis lanjutan.
Dalam konteks henti jantung, BHD mencakup pengenalan tanda-tanda kegawatdaruratan, pemanggilan bantuan (aktivasi sistem kegawatdaruratan), serta tindakan
resusitasi jantung paru (RJP), yang meliputi kompresi dada dan pemberian napas buatan jika diperlukan.
Meskipun tindakan RJP tampak sederhana, pelaksanaannya membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang tepat agar pelaksanaannya berjalan secara efektif.
Faktanya, seringkali dilapangan petugas kesehatan terlambat tiba di lokasi bencana, sehingga korban yang seharusnya dapat cepat tertolong namun mengalami wasting time, karena keterlambatan petugas. Di sinilah pelatihan BHD menjadi sangat penting bagi masyarakat awam khususnya relawan, sehingga pengetahuan dan keterampilan masyarakat khususnya relawan dalam melakukan BHD menjadi krusial.
BHD yang dilakukan oleh orang awam seperti relawan dapat meningkatkan probabilitas atau peluang korban untuk bertahan hidup sebelum mendapatkan penanganan medis lanjutan. Oleh karena itu, pelatihan BHD bagi relawan bencana dan masyarakat umum sangat penting untuk meningkatkan respons terhadap kejadian henti jantung di lokasi bencana. Dengan demikian, diharapkan angka kematian akibat henti jantung di situasi bencana dapat diminimalkan.
Relawan Sebagai Agent of Probability Kasus Cardiac Arrest
Relawan sebagai pihak atau ‘agen’ yang hampir selalu pertama menemukan korban disituasi kejadian, harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dituntut memberikan dampak safetyp robability terhadap korban.
Istilah agen of probability merujuk pada individu atau kelompok yang dapat memengaruhi kemungkinan atau probabilitas hasil tertentu yang dalam hal ini adalah peluang korban cardiac arrest untuk bertahan hidup. Penelitian menunjukkan bahwa tindakan RJP yang diberikan dalam dua menit pertama dapat meningkatkan kemungkinan selamat hingga 2-3 kali lipat.
Relawan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam BHD, termasuk pengenalan tanda-tanda henti jantung, teknik kompresi dada yang benar, serta aktivasi sistem kegawatdaruratan, secara nyata meningkatkan outcome atau hasil dari peristiwa cardiac arrest.
Dalam konteks bencana, relawan seringkali menjadi responder
Pertama (first responder) karena relawan hampir selalu berada di lokasi atau lebih cepat sampai sesaat ketika kejadian.
Peran relawan jika kita tinjau diantaranya pertama, meliputi identifikasi cepat seperti mengenali korban yang tidak bernapas atau tidak responsif.
Kedua, tindakan awal seperti memberikan RJP segera tanpa harus menunggu tenaga kesehatan.
Ketiga, koordinasi evakuasi dan medis seperti menghubungi tim medis serta mengarahkan proses evakuasi medis lanjutan. Keempat, penyelamatan berbasis komunitas seperti membantu menciptakan sistem tanggap darurat berbasis warga.
Agar relawan benar-benar bisa menjadi agen of probability, maka pelatihan berkelanjutan sangat diperlukan.
Pelatihan BHD tidak hanya memberikan keterampilan teknis, tetapi juga membentuk mentalitas tanggap dan percaya diri dalam mengambil tindakan darurat. Pemerintah, lembaga kesehatan, dan organisasi kebencanaan perlu menyusun strategi pelatihan yang terstruktur dan berjenjang.
Penulis sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk turut serta menyusun strategi tersebut dimana mayoritas adalah akademisi dan sebagian sebagai praktisi, telah melaksanakan suatu program berupa pelatihan BHD yang di ditransformasikan kepada relawan untuk ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya.
Hasil program yang telah dilaksanakan pada tanggal 25 Januari 2025 lalu, alhamdulillah memberikan dampak yang signifikan dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kapasitas relawan untuk dijadikan bekal dalam melakukan respon keadaan darurat, terutama pada kasus henti jantung di situasi bencana.
Penulis : Alpan Habibi, Annisaa Fitrah Umara, Poppy Irawati, Nurcholis Ali Sya’bana
Editor/Penerbit : Youdha